Senin, 17 Maret 2014

Menulis Karangan Eksposisi



Masyarakat Baduy

Orang Baduy atau orang Kanekes adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut. Berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab. Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti urang Cibeo atau “orang Cibeo”.
Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda dialek (Sunda-Banten). Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan bahasa Indonesia, walaupun tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes “dalam” tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan atau agama dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Kepercayaan masyarakat Baduy yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh (ketentuan adat yang mutlak).
Masyarakat Baduy secara umum terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: Tangtu, Panamping dan Dangka. Kelompok Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok Penamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengeli-lingi wilayah Baduy Dalam, seperti: Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu dan lain-lain. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka kelompok Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes yang pada saat ini tinggal dua kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintah, yaitu sistem nasional dan sistem adat. Sistem nasional mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sedangkan sitem adat mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut di akulturasikan sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi perbenturan (perselisihan). Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh Kepala Desa atau “jaro pemerentah” yang ada di bawah Camat, sedangkan adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”.
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah bertani padi. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan dan madu hutan yang didapatkan di hutan.
Masyarakat Baduy sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda pengakuan kepada penguasa, masyarakat Baduy secara rutin ikut melaksanakan upacara Seba ke Kesultanan Banten. Sampai sekarang, upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi, seperti: (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui Bupati, Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu lampau dilakukan secara barter, seka-rang ini telah mempergunakan mata uang rupiah. Orang Baduy menjual hasil buah-buahan, madu dan gula kawaung (gula aren) melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes seperti: pasar Kroya, Cibengkung dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi masyarakat Baduy semakin meningkat sampai dengan ratusa orang setiap kali kujungan, biasanya pengun-jung yang datang yaitu dari kalangan remaja sekolah, mahasiswa/mahasiswi dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengun-jung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengujung menuruti adat istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain: tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun dan odol di sungai. Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (bukan Warga Negara Indonesia). Beberapa wartawan asing (bukan WNI) yang mencoba masuk ke wilyah masyarakat Baduy sampai sekarang selalu ditolak.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung kerumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
(Brogododot)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar