Masyarakat
Baduy
Orang
Baduy atau orang Kanekes adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah
Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut. Berawal dari sebutan para
peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin
Arab. Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang
ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut
diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah
mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti urang
Cibeo atau “orang Cibeo”.
Bahasa
yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda dialek (Sunda-Banten). Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan bahasa Indonesia,
walaupun tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes
“dalam” tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan atau
agama dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Kepercayaan
masyarakat Baduy yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan
kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga
dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu dan Islam. Inti kepercayaan tersebut
ditunjukkan dengan adanya pikukuh (ketentuan adat yang mutlak).
Masyarakat
Baduy secara umum terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: Tangtu, Panamping dan
Dangka. Kelompok Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang
paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di kampung Cibeo,
Cikartawana dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy dalam adalah pakaiannya
berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok
Penamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di
berbagai kampung yang tersebar mengeli-lingi wilayah Baduy Dalam, seperti:
Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu dan lain-lain. Masyarakat Baduy
Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy
Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka kelompok Dangka tinggal
di luar wilayah Kanekes yang pada saat ini tinggal dua kampung yang tersisa,
yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Masyarakat
Baduy mengenal dua sistem pemerintah, yaitu sistem nasional dan sistem adat.
Sistem nasional mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
sedangkan sitem adat mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut di akulturasikan sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi
perbenturan (perselisihan). Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh
Kepala Desa atau “jaro pemerentah” yang ada di bawah Camat, sedangkan adat
tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”.
Sebagaimana
yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Baduy adalah bertani padi. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan
tambahan dari menjual buah-buahan dan madu hutan yang didapatkan di hutan.
Masyarakat
Baduy sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis
memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran
mereka. Sebagai tanda pengakuan kepada penguasa, masyarakat Baduy secara rutin
ikut melaksanakan upacara Seba ke Kesultanan Banten. Sampai sekarang, upacara
Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi,
seperti: (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke
Gubernur Jawa Barat), melalui Bupati, Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian,
penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam
sewa-menyewa tanah dan tenaga buruh.
Perdagangan
yang pada waktu lampau dilakukan secara barter, seka-rang ini telah
mempergunakan mata uang rupiah. Orang Baduy menjual hasil buah-buahan, madu dan
gula kawaung (gula aren) melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan
hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak
di luar wilayah Kanekes seperti: pasar Kroya, Cibengkung dan Ciboleger.
Pada
saat ini orang luar yang mengunjungi masyarakat Baduy semakin meningkat sampai
dengan ratusa orang setiap kali kujungan, biasanya pengun-jung yang datang
yaitu dari kalangan remaja sekolah, mahasiswa/mahasiswi dan juga para
pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengun-jung tersebut, bahkan
untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengujung menuruti adat
istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain: tidak boleh
berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun dan odol di sungai.
Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (bukan Warga Negara
Indonesia). Beberapa wartawan asing (bukan WNI) yang mencoba masuk ke wilyah
masyarakat Baduy sampai sekarang selalu ditolak.
Pada
saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan
kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3
sampai 5 orang, berkunjung kerumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil
menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya
mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
(Brogododot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar